“Woooi! Jangan lariii!!…”, Jadid meneriaki anak-anak itu sambil menggertak dengan beberapa buah batu kecil di tangannya. Memang, sejak mangga di halaman rumah kiai Madjid berbuah, banyak sekali anak-anak kecil yang ingin memetiknya. Sayangnya mereka tidak meminta kepada pemilik pohon tapi langsung menyerang buah mangga yang sebenarnya masih belum layak untuk dipetik.

Anak-anak itu lari tunggang-langgang dan menghilang dikejauhan. Tinggallah Jadid dengan muka masam dan mulut komat-kamit menggerutu di depan rumah gurunya itu. Jadid lalu masuk ke rumah Kiai Madjid, masih dengan gerutuan yang tersisa dimulutnya. Kiai Madjid menyambutnya dengan senyum, lalu bertanya:

Kiai: “Kenapa lagi, Did?”

Jadid: “Koq kenapa? Apa Kiai ndak lihat?”

Kiai: “Lihat apa toh?”

Jadid: “Anak-anak yang tadi di depan rumah Kiai…”

Kiai: “Mamangnya kenapa?”

Jadid: “Mereka mencuri mangga, Ki. Nimpukin mangga pakai batu!”

Kiai: “Dapat?”

Jadid: “Apanya yang dapat?”

Kiai: “Ya mangganya-lah…”

Jadid: “Kok, Kiai malah nanya begitu? Ya dapat lah, Ki… Tuh, masih banyak yang berserakan di halaman. Ndak jadi mereka ambil karena takut sama saya!”

Kiai: “Hmmm…”

Jadid: ”Kok hmmm? Apa Kiai ndak marah?”

Kiai Madjid diam saja. Kopi yang tinggal setengah gelas di atas meja diseruputnya nikmat. “Srrrruupppp… Aaah… Alhamdulillah…”. Kopi hitam itu menyisakan ampas yang menempel di bibir Kiai Madjid. Jadid tersenyum melihatnya. Lalu Kiai Madjid berlalu membawa gelas kopi yang tersisa ampasnya itu ke belakang.Tak lama kemudian, sang Kiai keluar lagi menemui Jadid yang sudah duduk di beranda depan rumahnya.

Kiai: ”Did, enak ya mangga itu?”

Jadid: ”Ya, enak lah, Ki. Kok nanya kayak gitu?”

Kiai: ”Saya cuman mau nanya. Ndak boleh tho?”

Jadid: ”Boleh kok, Ki. Tapi…”

Kiai: ”Tapi apa, nak?”

Jadid: ”Nganu, Ki… Apa iya kalau orang mencuri masih bisa diampuni sama Allah?”

“Hahahaha…”, tiba-tiba Kiai Madjid tertawa. Tidak terbahak-bahak, tapi cukup keras terdengar di telinga Jadid. Lalu Kiai Madjid mengelus jidat Jadid dan mengacak-ngacak rambut muridnya itu.

Kiai: “Rizki itu sudah diatur oleh Allah. Entah bagaimana caranya, rizki itu pasti akan datang. Namun, manusia tidak serta merta dapat berpangku tangan semaunya. Manusia justru harus mencari hakikat keberadaannya di muka bumi dengan mengandalkan otak, otot, dan nuraninya untuk mencari keberkahan Ilahi. Selalu ada jalan untuk mendapatkan sesuatu. Juga harta, pangkat dan jabatan”.

Kemudian dari dalam, Bu Isah membawakan dua gelas air putih untuk suami dan murid kesayangan suaminya itu. Lalu Kiai Madjid melanjutkan.

Kiai: “Allah sudah melukiskan rizki manusia di langit. Tinggal manusia mencari celah agar ia dapat menggapai semuanya. Dan jalan itu yang menentukan predikatnya sebagai manusia. Apakah ia manusia yang baik, buruk, atau bahkan sesat”.

Jadid: “Kalau Allah sudah melukiskan rizki manusia di langit, brarti kita tinggal nongkrong di rumah sambil nunggu rizki itu jatuh dari langit?”

Kiai: “Ya ndak lah! Manusia harus berusaha. Berikhtiar dengan kemampuannya. Dengan akal dan keterampilannya. Setiap jalan ikhtiar adalah usaha mencapai segala hasil. Namun hasil tak pernah menjadi tanggungjawab manusia. Hasil dari ikhtiar manusia itu ada di Tangan Allah, sedangkan manusia berkewajiban mencari jalan. Semakin banyak kebaikan yang diselimuti keikhlasan, semakin banyak pula anak tangga yang ia naiki menuju kehadirat Allah. Makrifatullah…”.

Jadid terdiam. Bingung atau bengong, atau entahlah. Lalu ia bertanya kepada gurunya.

Jadid: “Ki, bila manusia berbuat keburukan dalam berikhtiar mencari rizkinya – misalnya dengan mencuri, korupsi, menipu dan sebagainya… Apakah Allah akan kecewa kepadanya?”

Kiai Madjid tersenyum dengan pernyataan dan pertanyaan muridnya itu.

Kiai: “Allah tak akan pernah kecewa dengan keburukan yang dilakukan oleh manusia walau sebesar dan sebanyak apa pun. Allah Maha Kaya lagi Maha Bijaksana. Ngapain Dia kecewa pada keburukan yang dilakukan manusia.[/nextpage]

Sesungguhnya manusialah yang seharusnya merasa kecewa dan durhaka karena kezaliman dan keburukan yang dilakukannya”.

Jadid: “Apakah Allah sakit hati?”

Kiai: “Allah tak pernah sakit hati. Karena apapun usaha manusia tidak akan pernah mengurangi Keistimewaan, ke-Maha-Kuasa-an dan keAgungan Allah subhanahu wa ta’ala. Meski manusia berencana berbuat makar untuk menjatuhkan Allah dari Singgasana-Nya sebagai Rabb, Allah tetaplah Allah yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Tidak berkurang sesuatu pun”.

Jadid: “Lalu, kalok Allah tidak kecewa dan sakit hati brarti manusia akan makin semena-mena dan makin merajalela berbuat zalim dan keburukan dong Ki…”

Kiai: “Naa…. Itulah tugas para ulama dan umara. Merekalah yang bertugas agar manusia tetap berada pada jalan yang lurus. Istiqomah… Ulama meluruskan hukum-hukum agamanya, membimbing serta menasehati mereka, umara meluruskan dan menjalankan hukum-hukum normatif yang berlaku di negaranya”

Jadid: “Tapi kebanyakan para pemimpin, umara, wakil rakyat, aparat di negeri ini tidak seperti itu Ki… mereka malah yang berbuat zalim, berbuat seenaknya, korupsi, jual beli hukum, mengingkari sumpahnya dan tidak pernah peduli pada kemelaratan dan kesengsaraan rakyatnya…”

Kiai: “Itulah… mereka telah tertipu…”

Jadid: “Siapa yang telah menipu mereka. Ki?”

Kiai: “Setan! Setan tidak akan pernah berhenti menipu manusia dan mengajak mereka pada jalan kemaksiatan”

Jadid: “Gimana caranya setan menipu manusia, Ki?”

Kiai: “Dengan segala cara dan dari segala arah. Setan telah membutakan penglihatan mereka, menulikan pendengaran mereka, mengotori fikiran dan hati mereka, dan mencemari mulut mereka”

Jadid: “Jahat ya Ki…”

Kiai: “Siapa?”

Jadid: “Manusia-manusia zalim itu. Manusia-manusia pengikut setan. Setanirrojim!”

Jadid meneguk air putih di gelasnya, demikian pula Kiai Madjid. “Alhamdulillah…”

Jadid: “Ki, apakah Allah diam saja melihat kezaliman dan kemaksiatan meraja-lela di muka bumi, terutama di negeri kita ini?”

Kiai: “Tentu tidak! Allah pasti akan memberikan teguran dan peringatan kepada manusia. Teguran dan peringatan itu bentuknya bermacam-macam. Bisa musibah, bisa juga kehancuran yang maha dahsyat”

Jadid: “Jadi, musibah dan bencana yang terjadi di dunia merupakan teguran dan bentuk kemarahan Allah kepada manusia Ki?”

Kali ini jidat Kiai Madjid sedikit berkerut. Ia lalu melanjutkan.

Kiai: “Hmmmm… wallahu’alam.. Tapi, apapun yang terjadi pada manusia, pada bumi, dan dunia ini adalah atas Kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Dia pasti punya maksud-maksud tertentu terhadap setiap peristiwa yang menimpa manusia. Pasti ada hikmah di balik musibah, pasti ada asa setelah bencana, pasti ada cahaya setelah kegelapan. Karena setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan!. Ini janji Allah Yang Maha Benar… Makanya manusia harus bersabar pada setiap bencana dan musibah yang menimpanya. Ingat pesan Allah: Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu…”.

Jadid: “Tapi manusia sering lupa. Mereka lebih sering menyalahkan alam bila terjadi bencana. Menyalahkan alam sama saja dengan menyalahkan Sang Pengatur Alam. Sama saja dengan menyalahkan Tuhan. Menyalahkan Allah ya Ki… Bablas!”

Kiai: “Naudzubillah.. summa naudzubillahi mindzaalik! Semoga Allah selalu membukakan pintu hidayah-Nya kepada kita semua… Karena sesungguhnya tiap-tiap kerusakan di muka bumi adalah akibat perbuatan tangan-tangan manusia itu sendiri…”

Jadid: “Ki, apakah Allah mau memaafkan manusia atas kesalahan, kezaliman, dan kerusakan yang telah ia perbuat?”

Kiai: “Allah itu Maha Pemaaf nak… Kasih-Nya selalu terpancar di setiap hela nafas manusia. Dia Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat hamba-hamba-Nya. Hanya kemusyrikan pada-Nya yang tidak akan dimaafkan. Karena kemusyrikan adalah tahapan kedurhakaan yang paling durjana. Tidak mengakui-Nya sebagai Khalik adalah kekeliruan yang amat besar. Bila pun setiap detik manusia selalu berbingkai kesalahan, ampunan dan maaf Allah tidak pernah menyempit hingga napas tercerabut dari raga manusia”.

Kiai: ”Lalu, Anak-anak itu?…”

“Huahaha…”, Kiai Madjid tertawa lagi. Kali ini terbahak-bahak.

Kiai: ”Kamu lihat pohon itu?”
Jadid: “Pohon apa, Ki?”

Kiai: “Sontoloyo! Ya pohon mangga itu..!”

Jadid: ”Oooo… Ya, saya lihat. Emangnya kenapa?”

Kiai: ”Tadi anak-anak itu kamu lihat lagi ngapain?”

Jadid: ”Nimpukin buah mangga di pohon.”

Kiai: ”Terus?”

Jadid: ”Kalok kena mangga, ya mangganya jatuh, ada yang mereka ambil ada yang ditinggalin begitu aja berserakan. Kalok gak kena, ya kena pohon mangga itu, atau kena daun dan ranting. Ada juga yang kena angin… Wuusssh…”.

Kiai: “Kalok kena pohon mangganya, bales nimpukin ndak dia?”

Jadid: “Ya ndaklah Ki…”

Kiai: “Trus, apa pohon mangga itu marah-marah, teriak-teriak menyumpahi dan mencaci-maki?”

Jadid: “Ealaaah… gimana sih Ki, masak pohon mangga bisa marah-marah begitu? Mungkin dia cuman bisa ngedumel!”

“Hahaha…”, Kiai Madjid tertawa lagi. Kali ini tidak sekeras dua tawa yang tadi.

Kiai: “Kemaafan Allah adalah sifat yang mestinya ditiru manusia, dicontoh dan diteladani. Seperti pohon mangga itu, puluhan batu tiap hari terhujam padanya, tapi ia tak membalasnya dengan menghujam balik. Setiap kali ditimpuki, pohon mangga itu justru menghadiahi buahnya”.

Jadid: “Iya, kalok yang kena buahnya…”

Kiai: “Begitulah manusia seharusnya. Ketika ia telah mengerti bahwa hidup bukan ladang memaki atau mencaci, ia berusaha untuk berbuat baik pada siapapun. Termasuk pada orang-orang yang gemar menyakitinya. Karena hidupnya adalah sarana pengabdian yang paling hakiki. Seperti halnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak pernah membenci orang-orang yang membencinya. Begitu kasar dan buruknya caci-maki kaum kafir Quraish kepada beliau, tapi tak berbalas satu senyum sinis pun dari bibirnya, apalagi maki, caci, dan sumpah serapah. Bahkan beliau ditimpuki dengan batu hingga keningnya berdarah tapi beliau tidak pernah marah. Yang marah malah malaikat, sehingga mereka telah bersiap membalikkan gunung kepada mereka. Tapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam malah memaafkan mereka dan mendo’akan agar mereka mendapat hidayah dari Allah. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mencapai hakikat kebenaran dalam kehidupan, pengabdian pada Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Menjadi seorang hamba Allah yang sejati”.

Jadid: “Subhanallah… Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad…”.

Kiai: “Begitulah hendaknya wajah yang tercermin dari umat Islam. Wajah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan wajah kekerasan dan kemarahan…”.

Tiba-tiba saja anak-anak yang tadi mengambil mangga itu datang dengan muka memerah. Di tangannya masih tersimpan dua buah mangga muda, terselip di antara jemari kecilnya. Jadid segera naik pitam. “Sabar… kendalikan amarahmu…”, bisik Kiai Madjid.

Jadid: ”Anak-anak itu, Ki. Mau saya jeweri telinga mereka!”

Kiai Madjid hanya tersenyum, “Biarkan mereka nak… Biarkan mereka datang kemari.”

Anak-anak itu ragu-ragu melangkah. Mukanya nampak ketakutan, tangannya gemetar. Sejarak tiga langkah dari Kiai Madjid, anak-anak itu sontak menunduk takzim. Lalu mereka memohon maaf dan meminta agar tak dimarahi. Kiai Madjid memberi isyarat kepada Jadid untuk memutuskan apa yang harus diperbuat pada anak-anak itu.

Jadid: ”Apa yang kalian bawa kemari?”

Mereka diam. Lalu menyerahkan dua buah mangga.

Jadid: ”Lho kok cuman dua? Tadi kalian curi lima! Masak cuman dikembalikan dua?”

”Yang tiga udah telanjur masuk perut. Yang kami bawa ini penyesalan, Mas…”, kata seorang anak.

Jadid: “Untung saya tak lapor polisi! Tau ndak kamu, maling mangga bisa dihukum enam bulan penjara!”.

“Kok bisa ya… koruptor yang maling uang Negara ratusan juta cuman dihukum paling lama setahun…”, celetuk seorang anak lagi.

Jadid: “Di negeri ini apa sih yang ndak bisa?”

Kiai madjid tersenyum melihat muridnya itu menyelesaikan masalah.

Kiai: “Hush! Kok jadi ngelantur! Udah.. udah… semua sudah dimaafkan kok. Tapi, kalian janji untuk tidak mengulanginya lagi ya… kalok kepingin, tinggal mintak aja… Ndak usah nyuri..”

Jadid: “Iya… kalok kecilnya udah biasa nyuri, besarnya bablas korupsi!”

Akhirnya mereka bersalaman, bermaaf-maafan. Mangga itu dikupas dan dimakan bersama-sama. Dan makin nikmat karena Buk Isah membuatkan bumbu rujak. Sedaaap… Alhamdulillah…

DM-2013