Ada seorang lelaki. Namanya Yohanes Calvin (1509-1564). Nama singkatnya Calvin. Dia orang Swiss. Orang ini menciptakan satu pemikiran akidah untuk penganut Kristen Protestan yang memberi dampak besar dalam kehidupan ekonomi penganutnya. Pemikirannya ini tentu saja didasarkan pada tafsirannya terhadap sumber-sumber agamanya.
Ringkasan pemikirannya begini:
Pertama-tama dia menekankan pentingnya keyakinan tentang predestinasi/takdir. Dia menjelaskan bahwa segala sesuatu itu sudah ditakdirkan Tuhan. Orang masuk syurga dan neraka sekalipun sudah ditakdirkan Tuhan. Amal tidak boleh mengubah takdir di akhirat. Meskipun orang susah payah berusaha menjadi baik dan beramal soleh, tapi jika takdirnya menjadi orang terkutuk dan ke neraka, maka nanti pasti akan ke neraka. Takdir tidak boleh berubah.
Dari sini, secara alami akan muncul pertanyaan besar yang sungguh menggelisahkan pada masing-masing orang yaitu,
“Apakah aku termasuk yang ditakdirkan masuk syurga?”
“Apakah aku terpilih?”
“Bagaimana caranya agar aku yakin bahwa Tuhan telah memilihku termasuk golongan orang-orang yang beruntung dan ditakdirkan masuk surga?”
Pertanyaan ini akan menimbulkan kerisauan luar biasa bagi tiap-tiap orang. Mereka perlukan jawaban pasti dan tidak mungkin terus-terusan berada dalam kebimbangan seumur hidup.
Dari sini, Calvin memberi jawaban. Menurutnya, tanda orang terpilih dan dipastikan masuk surga itu boleh disaksikan di dunia ini. Tanda tersebut adalah adalah keberhasilan dalam kerjayanya.
Jika orang menekuni kerjayanya, lalu berhasil baik dan menjadi kaya, maka itu tanda bahwa Tuhan ‘ikut bekerja’ bersamanya. Dia dibimbing, diarahkan, dan digiring untuk menjadi orang kaya dan sukses secara materi melalui kerjayanya.
Jadi, jika orang dimudahkan untuk menjadi kaya oleh Tuhan, maka itu adalah tanda bahwa dia sejak awal sudah ditakdirkan menjadi orang yang bahagia dan akan masuk syurga di akhirat.
Akhirnya, dari ajaran ini penganut Calvinisme menjadi orang-orang yang paling merindukan kekayaan. Mereka mengejar kekayaan bukan untuk bersenang-senang, tetapi menggunakan kekayaan dalam rangka menjalankan kehendak Tuhan di muka bumi. Mereka bersemangat untuk mengubah diri menjadi orang kaya agar punya jaminan bahwa mereka nanti dipastikan masuk syurga.
Penganut Calvinisme akhirnya menjadi sekumpulan orang yang sangat rajin bekerja dan mengumpulkkan kekayaan. Niat mereka saat mengumpulkan kekayaan adalah dalam rangka menampakkan kebesaran Tuhan di muka bumi.
Akibatnya, justru mereka malah terhalang untuk menikmati kekayaannya kerana kesibukan bekerja ini. Sikap hidup mereka cenderung asketis/sederhana kerana mereka memandang menggunakan kekayaan untuk memuaskan hawa nafsu adalah dosa.
Salah satu contoh orang kaya penganut Calvinisme adalah Rockefeller (1839-1937). Dia adalah billionnair Amerika. Seorang pengusaha minyak. Pemilik ‘Standard Oil’. Dia memandang semua wangnya adalah ‘Wang Tuhan’. Dia membenci kesenangan. Wang Tuhan ditangannya dalam pandangannya adalah ‘Amanah Tuhan’ yang harus ia gunakan untuk menjalankan roda ekonomi.
Mereka yang setuju dan menganut pikiran Calvin ini kemudian disebut dengan penganut Calvinisme/Ketzer. Sejak abad ke-16, orang-orang Spanyol melihat fahaman Calvinisme/Ketzer menyebabkan semangat dagang menjadi tinggi di kalangan businessman Eropah. Ini pulalah salah satu faktor yang menyebabkan kapitalisme tumbuh pesat di Eropah Barat dan Amerika Utara.
Gejala ini diamati Max Weber, kemudian ditulis dan dianalisa dalam karyanya yang berjudul ‘Die Protestantische Ethik und der ‘Geist’ des Kapitalismus’. Dalam versi Inggeris, ia diterjemahkan menjadi ‘The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism’. Edisi Indonesia menerjemahkannya menjadi ‘Etika Protestan dan Jiwa Kapitalisme’.
Kini, ambisi ingin kaya dengan menggunakan agama dikembangkan kembali oleh sejumlah individu motivator ‘Islami’. Orang awam yang tidak terlalu mengerti hakikat kaya dan miskin dalam Islam dengan mudah cepat terpengaruh.
Beberapa dalil dijadikan hujjah oleh individu motivator itu, agar semangat kaya itu terkesan ‘syar’i’, ‘Islami’ dan bahkan tampak sebagai ‘perjuangan di jalan Allah’. Celakanya, caranya menafsirkan dalil adalah ditafsir-tafsirkan sendiri, ucapan tanpa ilmu dan tidak ada asas ilmu syar’i yang benar.
Ini sungguh berbahaya. Mengejar kekayaan dengan bertopengkan agama adalah sunah Calvinisme. Bukan ajaran Rasulullah ﷺ dan bukan ajaran para nabi. Al-Qur’an telah menegaskan batilnya pemikiran seperti Calvinisme ini. Allah berfirman,
{وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا} [الكهف: 36]
Artinya,
“(Si kaya kafir itu berkata) kalaupun aku dihidupkan lagi, pastilah aku akan lebih kaya lagi nanti (di akhirat).”
Dalam ayat di atas, Allah menceritakan bagaimana keyakinan seorang kafir yang kaya raya di dunia, yang meyakini bahwa jika dia kaya di dunia, maka di akhirat pasti dia lebih bahagia dan lebih kaya lagi.
Jadi, kekayaannya di dunia dijadikannya sebagai dalil bahwa nanti di akhirat dia pasti juga akan bahagia dan kaya. Si kafir ini juga merasa dirinya lebih baik daripada kawannya, kerana dia kaya sementara kawannya yang mukmin itu miskin.
Keyakinan seperti ini dikecam dalam al-Qur’an, kerana bentuk kebodohan terhadap akhirat, qiyās gaib ‘alā syāhid (menganalogikan yang gaib dengan yang nyata), bentuk magrūr (ketertipuan), dan khayalan akut terhadap hal yang gaib tanpa hujah.
Dalam tafsir Fatḥu al-Qadīr disebutkan,
هَذَا قِيَاسًا لِلْغَائِبِ عَلَى الْحَاضِرِ، وَأَنَّهُ لَمَّا كَانَ غَنِيًّا فِي الدُّنْيَا، سَيَكُونُ غَنِيًّا فِي الْأُخْرَى، اغْتِرَارًا مِنْهُ بِمَا صَارَ فِيهِ مِنَ الْغِنَى الَّذِي هُوَ اسْتِدْرَاجٌ لَهُ مِنَ اللَّهِ (فتح القدير للشوكاني (3/ 339)
Artinya,
“Ini adalah analogi hal gaib terhadap hal nyata. Yakni, ‘Jika dia kaya di dunia, maka dia juga akan kaya di akhirat’. Ini adalah bentuk igtirār/ketertipuan kerana kekayaannya, padahal kekayaan tersebut adalah bentuk istidrāj/pembinasaan halus dari Allah.”
Menjadikan kekayaan sebagai kayu ukur kebaikan, hidup mengejar kaya apalagi menjadikan kekayaan ukuran kejayaan di akhirat adalah sunah umat di luar Islam.
Itu batil, tasyabbuh bil kuffār (menyerupai orang kafir), bertentangan dengan al-Qur’an, bentuk ge-er kepada Allah bahkan termasuk ‘ujub dan takabur jika disertai penghinaan dan bullying terhadap mereka yang rezekinya disempitkan oleh Allah.
Membanggakan kekayaan bukan kebiasaan orang soleh.
Mengajak bekerja keras dengan motivasi supaya kaya juga bukan ajaran para nabi dan rasul.
Mengagung-agungkan pencapaian duniawi juga bukan watak orang beriman yang mengerti betul hakikat dunia dengan segala tipuannya dan bahayanya.
Jadi, hati-hatilah mengambil panutan! []
Oleh: Ustaz Mokhamad Rohma Rozikin