Hukum waris adalah hukum yang mengatur masalah peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada keluarganya yang masih hidup. Hukum waris, dalam bahasa Arab disebut mawarist dan fara’idh.

Kata mawarist adalah jama’ dari mirast (bentuk masdar dari waritsa – yaritsu – irtsan – miratsan) yang berarti mewarisi. Menurut Bahasa, pengertian al-mirats adalah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Dengan demikian, obyek kewarisan sangat luas tidak hanya terbatas pada harta benda melainkan juga berupa ilmu, kebesaran, kemuliaan dan sebagainya.

Adapun kata faraidh adalah bentuk jama’ dari kata faridhah. Kata faridhah diambil dari kata fadh yang berarti penentuan, pembagian. Jika ditinjau dari segi ilmu faraidh, pengertian al-mirats adalah perpindahan hak pemilikan dari mayit (orang yang meninggal dunia) kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik pemilikan tersebut berupa harta, tanah maupun hak-hak lain yang sah.

Pengelolaan harta warisan sebelum dilakukan pembagian harta warisan, ada hak-hak yang wajib diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: 

  1. Pembagian harta bersama yaitu harta milik bersama antara suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. 
  2. Biaya perawatan dan pengurus (tajhiz) mayat, yaitu biaya yang diperlukan untuk pengurusan mayat. Biaya perawatan mayat diantaranya adalah biaya memandikan, mengkafani, sampai menguburkan mayat. 
  3. Membayar hutang yaitu tanggungan wajib dari orang yang meninggal yang harus segera dilaksanakan oleh ahli waris dengan dibebankan pada harta peninggalan dari orang yang meninggal. 
  4. Melaksanakan wasiat, yaitu tindakan seseorang ketika ia masih hidup untuk menyerahkan sebagian hartanya kepada orang lain atau badan setelah ia meninggal. Orang yang berhak menerima wasiat harta ini adalah orang yang bukan ahli waris Harta yang boleh diwasiatkannya tidak boleh melebihi sepertiga dengan pertimbangan meninggalkan anak dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan sengsara.

Pengelolaan harta waris setelah orang tua atau keluarga yang mempunyai warisan meninggal seperti ditatas adalah cara agar harta warisan yang diterima bukan uang warisan panas, sehingga ketika masuk pada membagian ahli waris sudah final dan tidak lagi dikeluarkan untuk keperluan yang lainya.

Warisan adalah harta yang wajib dibagikan kepada ahli waris selama pewaris mempunyai harta. Warisan sering menjadi pertengkaran didalam keluarga, sehingga cara mengatasi harta warisan yaitu :

  1. warisan dan hibah harus menjadi dasar penerimaan yang jelas karena hiban dan warisan mempunyai 2 kekuatan hukum yang berbeda, sebagaimana artikel saya sebelumnya menjelaskan warisan dan hibah. 
  2. Saat harta yang diwarisi sudah dugunakan keperluan-keperluan 4 poin diatas, maka ahli waris harus menghitung semua jumlah harta benda yang dimiliki pewaris sehingga bisa dihitung besaran jumlah uang yang dimiliki pewaris.
  3. Setelah dihitung jumlah harta yang menjadi warisan emudian perhitungan warisan bisa dihitung melalu kalkulator waris yang sudah ada pada aplikasi playstore.
  4. Jika terjadi konflik bisa mengambil penengah keluarga baik dari amil maupun dari pemerintahan seperti KUA setempat, jika konflik berlanjut maka pembahasan warisan bisa diajukan ke pengadilan Agama setempat.

Seorang yang mengajukan hak waris bukanlah orang yang hina, karena setiap harta waris harus di tunaikan kepada ahli warisnya dan jangan sampai ada ketidak adilan. Jika konflik terjadi kemudian ahli waris tidak mau mempersoalkan masalah hak warisanya, maka harta warisan yang seharusnya jadi haknya maka akan dimasukan kedalam tabungan akhirat.

Itulah sekelumit masalah harta warisan, jangan sampai perkara warisan menjadi pemutus hubungan keluarga, karena harta warisan masuk kedalam keberkahan dunia dan akhirat, sehingga kita sebagai orang yang mengetahui masalah pengelolaan harta warisan harus bisa menyelesaikan masalah warisan.

Wallahua’lam.

Referensi:

  1. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 342
  2. Hamid Sarong, dkk., Fiqh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2019), hlm. 222.
  3. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid V (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2013), Hlm. 511.
  4. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 884 dalam bab Pembatalan wasiat kepada ahli waris, Nomor hadist 2712.

***
Tentang Penulis
Judul asli artikel “CARA MENGELOLA HARTA WARISAN” ditulis oleh Ustadz A Khaerul Mu’min, M.Pd. beliau juga Konsultan Keluarga, Kesehatan dan Karir, Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang serta Penulis Karya Ilmiah
Bagi yang mau konsultasi keluarga, kesehatan dan karir hubungi :

Laki-laki : +62857-1513-1978
Perempuan : +62855-1777-251