Karena desakan pertanyaan dari para sahabat, dalam keadaan yang sangat terpaksa akhirnya Nabi mau “mengaku”, lantas beliau membuka bajunya. Perlahan Nabi membuka kain yang membalut perutnya. Alangkah terkejutnya para sahabat melihat ada batu-batu kecil dalam kain itu. Umar ra. pun sontak bertanya:
“Wahai Nabi, untuk apakah engkau membalut perutmu dengan batu?”
“Aku lapar, dan aku tak memiliki apa-apa untuk dimakan”
Dengan suara bergetar karena sedih Umar ra. berkata: “Wahai Rasulullah, sehina itukah engkau memandang kami”. “Apakah engkau mengira jika engkau berkata lapar, kami tidak akan memberikan makanan yang paling lezat? “Wahai Rasulullah, Umar ra. kembali merendahkan suaranya, “kami semua sahabatmu ini, telah hidup dalam kemakmuran. Sementara engkau dalam keadaan menahan lapar”
“Tidak Umar” Nabi Muhammad menjawab pertanyaan Umar yang beruntun itu, ” karena aku tahu bahwa kalian tidak hanya akan memberikan makanan lezat padaku, tapi juga harta benda bahkan nyawa kalian padaku, sebagai rasa cinta. “Tapi Umar, bagaimanakah aku akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah dan caraku untuk menyembunyikan rasa malu itu karena lapar, jika sebagai pemimpin aku hanya menjadi beban pada orang yang aku pimpin”.
Mendengar jawaban nabi tersebut Umar ra. dan para sahabat terdiam. Segala bentuk kecintaan yang mereka berikan selama ini pada Nabi Muhammad memang sudah selayaknya. Bentuk pengorbanan demi menjamin kebutuhan hidup dan keselamatan seorang pemimpin yang sangat mereka agungkan, hal yang wajib dilakukan. Luhurnya akhlak beliau, kehidupan yang sederhana dan bersahaja patut untuk diteladani. Itulah yang menjadi perekat, mengapa risalah yang beliau bawa masih lestari hingga saat ini.
Dengan segala kekuatan dan pengaruh yang beliau miliki sebagai seorang kepala negara, panglima tertinggi, pemegang otoritas agama, sudah selayaknya Nabi Muhammad memperoleh segala fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalo hanya sekedar memenuhi kebutuhan perutnya, maka mudah bagi beliau hanya berucap satu kata, maka para sahabat membawakan berbagai jenis makanan lezat yang langsung tersaji di hadapannya. Sebagai pemimpin umat, segala apa yang diinginkan tentu akan tersedia. Namun, tidak bagi beliau. Nabi Muhammad tidak mau melakukan hal itu. Rasulullah sedang mengajarkan pada kita bagaimana cara untuk menahan “nafsu” diri dengan cara berpuasa. Bahkan dalam kondisi laparpun beliau berusaha menutupinya. Nabi yang agung itu mengajarkan kepada ummatnya bagaimana bersikap tidak mudah “memanfaatkan” dan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, meskipun memiliki pengaruh dan kekuasaan. Rasulullah mengajarkan kita bagaimana berpuasa yang indah, yaitu prinsip menahan diri dengan tidak “memanfaatkan” apa yang menjadi amanahnya, apalagi hanya sekedar untuk memenuhi kelangsungan hidupnya.
Salam bagimu Wahai Rasulullah, junjungan kami. Bahwa sampai saat ini, kami masih juga tertatih-tatih meniru akhlakmu… kami mencintaimu ya Rasulullah, berusaha dengan sungguh – sungguh meneladani semua akhlakmu yang mulia itu…
Sumber : Hikmah Kisah Teladan