Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Said dengan menyerahkan kantong dari Umar bin Khatthab. Said melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Seolah-olah Said sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Said? Apakah Amirul Mukimin wafat?”
Said menjawab, “Lebih besar dari itu.”
Istrinya bertanya, “Aa yang lebih besar?”
Said menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akhiratku, sebuat fitnah telah menerpa rumahku.”
Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya,” Dia belum mengerti apa pun terkait dengan perkara dinar tersebut.
Said bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”
Istrinya menjawab, “Ya”
Maka Said mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-baginya kepada kaum muslimin yang miskin.
Tidak berselang lama setelah itu, Umar bin al-Khatthab datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan Umar untuk memberi salam kepadanya. Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.
Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Allah agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”
Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Said?”
Said diam sesaat kemudian berkata, “Demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”
Umar berkata, aku pun berkata kepada mereka, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”
Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”
Said berkata, “Demi Allah, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Allah Ta’ala.
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
Aku bertanya, “Bagaimana penjelasanmu wahai Said?”
(Bersambung)