Dosa Bagai Sayatan Luka

0
185

Dosa yang anda perbuat bagai bumerang yang berbalik arah menghantam dan menyisakan sayatan luka. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengukir petuah emas, beliau berkata :

“Dosa-dosa ibarat luka, tak sedikit dari luka itu mengantarkan pada kematian…

Bergoncangnya bumi dan gelapnya langit sebagai pertanda, adzab Allah bagi pecinta dosa yang berbuat kerusakan di daratan dan di lautan…”

(Kaifa tatahammasu li thalabil ‘ilmi asy-syar’i, 153).

Siklus hidup kita ternyata memang tak menentu. Kondisi keimanan dan amal shalih kita yang tidak stabil, naik turun, tertambah dan berkurang. Seringkali begitu banyak maksiat yang kita lakukan, beriring dengan kebaikan. Sebaliknya ada banyak kebaikan kita lakukan, tetapi masoh juga kita selingi dengan kejahatan (perbuatan maksiat; dosa).

Kita semua sedang menjalani sebuah proses hidup, yang belum menentu arah akhirnya. Kita sendiri yang akan menjalaninya dan mengatur arahnya.

Simaklah perkataan Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam Al Hikam Al Athaiyah. Katanya, “Mungkin saja Allah membukakan untukmu pintu ketaatan tapi Allah tidak membukakan untukmu pintu penerimaannya. Mungkin saja Allah menetapkan atasmu suatu kesalahan yang justru menjadi sebab engkau sampai pada keinginanmu. (Yaitu) Kemaksiatan yang memberi bekas rasa hina dan hancur di hadapan-Nya karena kemaksiatan, lebih baik dari pada ketaatan yang meninggalkan rasa sombong dan bangga.”

Ada banyak lubang ketergelinciran yang kita hadapi dalam menjalani hidup. Ada banyak sekali jerat yang bisa menjatuhkan kita. Tapi begitu luas dan agungnya kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.

Kita telah diselamatkan, menjadi hamba-Nya. Syukurilah, hingga kini syetan masih belum berhasil menguasai dan merasuki kita untuk tidak menjadi pengikutnya. Syukurilah, sampai detik ini kita masih merasakan nikmat kembali iman. Kita masih berada di atas jalan-Nya. Sampai saat ini kita masih memendam kerinduan beribadah dan bermunajat kepada-Nya.

Tapi jangan lalai, karena keadaan ini bukan berarti syetan telah menyerah. Keadaan ini bukan berarti syetan gagal dalam upayanya untuk menundukkan lalu membuat kita mengikuti keinginan-keinginannya.

Syetan, bahkan bisa saja sengaja membiarkan satu keadaan yang baik untuk kita, tapi itu semu belaka karena di sisi lain ia tengah merasuki kita lagi dari lubang yang lain.

Ibnul Qayyim menyebutkan dua keadaan yang bisa mencabut kenikmatan hidup di dunia dan akhirat dari diri seseorang. Dua kondisi itu adalah ghoflah (kelalaian) dan kasal (kemalasan). Ghoflah sebagai lawan dari ilmu, kasal lawan dari iradah atau semangat. “Lalai dan malas adalah dua faktor utama yang menyebabkan seorang hamba terhalang dari kebahagiaan di dunia dan akhirat serta memudahkan syetan menyerangnya.” (Miftah Darus Saadah, I/112)

Kita mesti sadar bahwa masih banyak kemungkinan kita jatuh dalam perbuatan dosa dan maksiat. Kekhawatiran seperti inilah yang menjadikan Hasan Al-Bashri menduga dirinya termasuk dalam kelompok orang-orang yang paling terakhir keluar dari neraka.

Suatu ketika, ia pernah mengatakan, “Di akhirat nanti, ada seseorang yang keluar dari neraka setelah seribu tahun. Duhai, seandainya aku menjadi orang itu….” Imam Hasan Al-Bashri mengatakan hal itu di antara ketinggian prestasi ibadahnya yang diakui oleh banyak orang-orang shalih di zamannya.

Seorang salafushalih di zamannya menyifatkan Hasan Al-Bashri, “Jika engkau melihatnya sedang duduk, ia seperti binatang yang datang siap dipotong lehernya. Jika bicara ia seperti telah melihat akhirat dan memberitakan persaksiannya tentang akhirat. Jika diam sepertinya neraka ada di depan matanya.”

Bagi Imam Hasan Al-Bashri, menjadi orang yang terakhir keluar dari neraka bagaimanapun merupakan karunia yang sangat disyukuri karena itu adalah pertanda ia tidak abadi di neraka.

Gemuruh ketakutan dan kesedihan seperti itu juga dirasakan oleh banyak salafushalih. Antara lain Abu Hafsh yang mengatakan, “Sejak 40 tahun ada kenyakinan dalam diriku bahwa Allah memandangku dengan pandangan marah karena perilakuku.”