UMIKA.ID,- Setiap orang pasti menginginkan kesuksesan dalam hidupnya. Namun, di era modern ini, sering kali kita terlalu fokus pada kesuksesan orang lain hingga lupa untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Padahal, dalam Islam, bersyukur adalah salah satu kunci utama dalam meraih kebahagiaan sejati. Melihat kesuksesan orang lain tanpa disertai dengan hati yang lapang bisa membuat kita merasa iri, minder, bahkan mengeluh atas keadaan diri sendiri. Hal ini dapat menjauhkan kita dari rasa syukur dan kedamaian hati.
Dalil tentang Pentingnya Bersyukur
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-Nahl: 18)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa nikmat Allah yang kita terima begitu banyak dan tak terhitung jumlahnya. Seringkali, ketika kita melihat kesuksesan orang lain, kita lupa bahwa kita sendiri telah diberkahi dengan banyak nikmat. Rasa syukur adalah bentuk pengakuan atas karunia Allah, dan dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita.
Allah juga berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji’.” (QS. Luqman: 12)
Ayat ini menunjukkan bahwa bersyukur bukanlah untuk keuntungan Allah, tetapi untuk kebaikan kita sendiri. Dengan bersyukur, kita akan merasakan ketenangan dan kepuasan batin, sementara sikap tidak bersyukur akan membuat kita terus merasa kurang dan tidak bahagia.[1]
Bahaya Melihat Kesuksesan Orang Lain dengan Hati yang Tidak Lapang
Ketika kita melihat kesuksesan orang lain tanpa hati yang bersyukur, kita bisa terjebak dalam perasaan iri dan dengki. Perasaan ini tidak hanya merusak hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga dapat merusak hubungan kita dengan Allah. Perasaan iri adalah tanda ketidakpuasan terhadap takdir yang Allah tetapkan untuk kita. Padahal, setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing, dan apa yang Allah berikan kepada orang lain belum tentu baik untuk kita.
Rasulullah SAW bersabda:
“Lihatlah orang-orang yang berada di bawah kalian, jangan melihat orang-orang yang berada di atas kalian (dalam hal dunia). Karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.”(HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan kita untuk melihat mereka yang kurang beruntung daripada kita agar kita bisa lebih bersyukur. Dengan demikian, kita akan lebih mudah menghargai apa yang telah kita miliki dan tidak terjebak dalam keinginan yang tidak perlu.[2]
Mengembangkan Rasa Syukur dalam Kehidupan Sehari-Hari
Untuk menghindari perasaan iri dan tidak bersyukur, kita perlu mengembangkan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu caranya adalah dengan selalu mengingat bahwa setiap orang memiliki rezeki yang berbeda-beda. Apa yang tampak sebagai kesuksesan bagi orang lain mungkin belum tentu sesuai atau baik untuk kita. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Selain itu, penting untuk membiasakan diri untuk menghitung nikmat yang kita miliki setiap hari, sekecil apapun itu. Misalnya, nikmat kesehatan, keluarga yang harmonis, atau pekerjaan yang layak. Dengan fokus pada nikmat yang kita miliki, kita akan merasa lebih puas dan bahagia.
Kesimpulan
Kesuksesan orang lain seharusnya tidak membuat kita merasa iri atau tidak bersyukur. Sebaliknya, kita harus fokus pada apa yang telah Allah berikan kepada kita dan selalu mengingat bahwa setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda. Bersyukur adalah kunci untuk meraih kebahagiaan sejati dan menjaga hubungan yang baik dengan Allah. Jangan sampai keinginan untuk meraih apa yang dimiliki orang lain membuat kita lupa untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Dengan bersyukur, hidup kita akan lebih tenang, damai, dan penuh berkah.
Wallahua’alam
[1] Fath Al-Qadir Al-Jam’u bayna Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min ‘Ilmi At-Tafsir. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani. Tahqiq: Dr. ‘Abdurrahman ‘Umairah. Penerbit Darul Wafa’.
[2] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573